PRINCES INSURANCE WORLDWIDE

Informasi Terpanas Tentang Manfaat Asuransi Yang Lagi Menjadi Trending Topik diseluruh Dunia *** Read More ***

PRINCES CELEBRITY WORLDWIDE

Informasi Terpanas Tentang Kehidupan Artis Yang Lagi Menjadi Trending Topik diseluruh Dunia *** Read More ***

PRINCES HISTORY TOUR AND TRAVEL

Informasi Terpanas Tentang Perjalanan Wisata Yang Lagi Menjadi Trending Topik diseluruh Dunia *** Read More ***

PRINCES LOVE GOD

Informasi Terpanas Tentang Kehidupan Rohani Yang Lagi Menjadi Trending Topik diseluruh Dunia *** Read More ***

PRINCES INDONESIA

Informasi Ekonomi, Politik dan Terpanas diwilayah Indonesia Yang Selalu Menjadi Bahan Diskusi Antar Pemuda Generasi Bangsa ***

Translate this page to the following language!

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified


Hantu Abraham Lincoln yang Gentayangan di Gedung Putih

Melewati beberapa generasi, para pengunjung dan pegawai Gedung Putih mengaku telah melihat hantu Abraham Lincoln. Bahkan, ada satu laman Wikipedia yang berkutat soal penampakan Abraham Lincoln.

Baru-baru ini seorang peneliti paranormal yakin ia memiliki bukti fotografis keberadaan arwah Abraham Lincoln di Gedung Putih.

Joshua P. Warren mengatakan bahwa suatu foto tahun 1950 di ruang bawah tanah Gedung Putih menunjukkan keberadaan sosok seperti hantu yang dipercaya sebagai presiden ke-16 Amerika Serikat itu.

“Tempat pengambilan fotonya tepat di bawah kamar tidur Lincoln. Dan karena ia adalah hantu yang paling sering dilaporkan, saya kira itu bisa saja Lincoln.”

Seperti yang dikutip dari liputan6.com, Foto yang dimaksud diambil oleh Abbie Rowe, seorang juru foto langganan Gedung Putih. Dalam foto itu ada seorang di atas bulldozer di latar depan dan sekelompok orang di sisi kiri latar belakang. Namun di tengah latar belakang ada sosok pria yang sepertinya tembus pandang.

Dalam foto itu, ada seorang di atas bulldozer di latar depan dan sekelompok orang di sisi kiri latar belakang. Tapi di tengah latar belakang ada sosok pria yang sepertinya tembus pandang.

Warren mengatakan bahwa gambar aneh itu tidak dianggap hingga 2008 ketika foto itu muncul dalam buku biografi pemenang Pulitzer, Truman, garapan David McCullough pada 1992.

Salah seorang pembaca, Bob Martin, menulis surat kepada penggarap biografi itu, tapi tidak mendapatkan tanggapan.

Warren boleh saja percaya bahwa itu hantu Lincoln, tapi ada juga pendapat yang lain. Dalam dokumenter kecil tentang foto itu, sejumlah pihak menyebutkan long exposure atau double exposure sebagai penyebab tampilan seperti hantu dalam foto tersebut.

Namun Warren tidak sepakat, katanya, “Ada seorang pria di depan di foto itu berjalan di atas tumpukan puing. Dapat dilihat dari posisinya bahwa hanya ada 1 atau 2 detik antara pembukaan dan penutupan rana kamera.”

Bryan Bonner dari Rocky Mountain Paranormal Research Society menduga Warren salah. Katanya melalui surat elektronik, “Foto ini adalah contoh klasik foto arsitektur 1950-an. Artinya, tidak peduli dengan orang di dalam gambarnya, lebih kepada bangunannya. Dengan pengalaman fotografi selama 30 tahun, saya tidak ragu bahwa ini adalah sekadar gambar buram seseorang.”

Selanjutnya, Warren menengarai sosok hantu itu sedikit lebih tinggi daripada orang kebanyakan, berdasarkan tempat kepala orang-orang di kirinya.

Katanya dalam situs web, “Jika kita menganggap tiga orang itu memiliki tinggi rata-rata, artinya sosok tersebut lebih tinggi daripada rata-rata (walaupun kita tidak mengetahui ketinggian tanah di tempat konstruksi itu). Lincoln kira-kira setinggi 193 sentimeter dan ini konsisten dengan kemungkinan yang ada pada penampakan Lincoln itu.”

Ben Radford, wakil editor di Skeptical Inquirer, mengatakan bahwa penampakan hantu itu banyak terjadi pada foto dengan teknik long exposure, termasuk foto-foto Perang Sipil AS.

Katanya melalui surel kepada Huffington Post, “Tidak ada yang aneh tentang gambar itu. Saya malah akan heran kalau penelitian cermat pada foto-foto Rowe yang lain sekitar masa itu dengan perangkat yang sama malah tidak menunjukkan apa-apa.”

Lanjutnya, “Lucu, belum pernah ada orang yang menduga itu sebagai hantu presiden yang kurang terkenal seperti Fillmore atau Polk.”

Warren percaya ia bisa membuktikan kasus ini dengan lebih baik jika memiliki akses ke negatif aslinya atau adanya izin untuk berburu hantu di Gedung Putih. Sayangnya, izin untuk kedua hal itu ditolak.

Warren mengatakan bahwa gambar “hantu Lincoln” merupakan salah satu dari sekian banyak foro yang diambil pada masa pemerintahan Truman dan dinyatakan bukan rahasia pada 1978 oleh Jimmy Carter.

“Truman adalah seorang presiden ketika kecelakaan Roswell terjadi, bersamaan dengan pembentukan CIA dan NSA. Jadi mungkin saja masih ada sejumlah foto yang dapat mengejutkan kita.”

Sementara itu Radford malah lebih tercengang lagi ada orang yang menganggap “foto hantu paling terpercaya dan menajubkan” menurut Warren ini sebagai bukti serius tentang hal supernatural.

Katanya, “Kalau ini bukti fotografis terbaik tentang hantu—jika seorang pakar hantu tidak mengetahui bedanya long exposure dan hantu—maka bukti tentang hantu ini jauh lebih parah daripada yang saya bayangkan.

Jembatan Keramat Anak Bengawan Solo

Di sebuah desa yang jauh dari jantung kota Klaten, Jawa Tengah, terdapat sebuah tempat yang menurut cerita warga setempat dihuni oleh sesosok makhluk gaib. Tepatnya adalah sebuah jembatan yang akrab disebut sebagai Jembatan Demangan, atau banyak juga yang menyebutnya sebagai Jembatan Keramat.

Tertarik oleh cerita gaib yang berkembang, beberapa pekan lalu Devil coba mendatangi lokasi yang dimaksud. Jembatan Keramat ini posisinya berada di Dukuh Demangan, Kecamatan Karangdowo, Kabupaten Klaten. Jembatan ini merupakan jalur penghubung dengan desa di sebelah timurnya, dan terletak di atas sungai yang lebar dan panjang. Sungai ini merupakan anak sungai Bengawan Solo, yang lebih popoler disebut Kali Dengkeng.

Bila ditarik garis lurus sungai ini akan menuju ke arah wilayah Ki Ageng Pandanaran atau Sunan Tembayat. Di atas kali Dengkeng inilah Jembatan Keramat itu berdiri.

Dikisahkan, sekitar beberapa puluh tahun yang lampau, bentuk jembatan tersebut hanya sederhana saja. Bahan yang digunakan adalah kayu yang berasal dari pohon Donoloyo.

Kabarnya, jembatan ini sudah ada sekitar masa-masa kejayaan Majapahit. Pada waktu itu Prabu Brawijaya yang disertai para pengikutnya dari kerajaan hendak berkunjung ke Mataram. Tetapi perjalanan mereka terhenti di tengah-tengah sungai yang membentang. Kemudian Prabu Brawijaya V pada suatu malam mengumpulkan pengikutnya untuk diajak bermusyawarah. Setelah musyawarah tersebut sang Prabu akhirnya memerintahkan para pengikutnya agar besok pagi membuat jembatan.

Suatu malam, Prabu Brawijaya berjalan-jalan di sepanjang sungau. Namun di tengah perjalanannya di sepanjang sungai tersebut ia dikejutkan oleh sesosok orang yang menurutnya aneh. Mengapa disebut aneh? Karena di tengah malam ada seorang pemancing ikan dalam posisi duduk. Tetapi anehnya pemancing ikan tersebut tubuhnya tidak menyentuh tanah. Sang raja pun segera mendekati pemancing itu. Lalu terjadilah perbincangan di antara mereka.

“Maaf, selamat malam, Kisanak!” sapa Prabu Brawijaya setelah sampai di dekat pemancing.

“Selamat malam!” pemancing itu menjawab sambil menoleh ke arah Brawijaya.

“Maaf mengganggu panjenengan,” timpal Brawijaya.

“Oh, tidak apa-apa. Maaf jika boleh tahu siapakah tuan ini?”

“Saya hanyalah orang biasa yang hendak menyeberang sungai ini,” Brawijaya merendah.

“Sepertinya tuan ini orang kaya, setidaknya bangsawan?”

“Ah, tidak! Saya hanya kaum biasa, Kisanak.”

“Lantas apa maksud sampeyan menemui saya?”.

“Bila Kisanak berkenan kami mau minta tolong.”

“Apa yang bisa saya lakukan, Tuan?”

“Tolong buatkan kami sebuah jembatan, agar kami bisa meneruskan perjalanan!”

“Apakah mungkin saya bisa, Tuan?”

“Saya yakin panjenengan bisa. Berapapun biayanya akan kami bayar!”

“Soal bayaran gampang, nanti bisa dilakukan setelah pekerjaan selesai.”

“Maaf sebelumnya, bila boleh tahu, siapa nama Kisanak ini?”

“Nama saya Demang Entru”.

“Baik Ki Demang. Kapan siap mengerjakannya?”

“Karena hari ini telah larut malam, maka besok pagi akan saya kerjakan.”

“Kalau begitu kami permisi dulu. Terima kasih Ki Demang!”

Mereka berjabat tangan, lalu Brawijaya meninggalkan lelaki setengah baya itu.

Ketika pagi telah menyingsing, baik Prabu Brawijaya maupun para pengikutnya terkejut. Bagaimana tidak, di tengah-tengah sungai tersebut sudah ada jembatan yang terbuat dari kayu Donoloyo. Merekapun mencari-cari sosok lelaki setengah baya yang semalam dijumpai Prabu Brawijaya. Setelah dicari kesana kemari, lelaki misterius itu tidak ditemukan, lalu Brawijaya mengumpulkan para pengikutnya. Ia menyarankan agar mereka tidak perlu mencari sosok lelaki misterius tersebut. Karena Brawijaya tahu bila yang mereka cari itu bukan manusia biasa. Merekapun melanjutkan perjalanan melewati jembatan yang baru tersebut.

Seiring dengan kemajuan zaman serta pergantian generasi ke generasi, jembatan tersebut oleh warga setempat mulai direnovasi, dengan maksud untuk lebih memperkokoh dan memperkuat infastruktur.

Diceritakan, sekitar tahun 2004 hingga 2005 warga setempat mencoba melakukan renovasi dengan dukungan pemerintah setempat. Namun ada keganjilan terjadi ketika pembangunan sedang berlangsung. Fenomena yang terjadi adalah jembatan tersebut selalu ambrol atau roboh.

Menurut sumber Misteri, lebih dari tujuh kali jembatan tersebut hendak di renovasi, namun selama itu pula selalu gagal. Ketika mendekati finishing atau ketika pembangunan tinggal hanya beberapa persen akan selesai, ternyata selalu ambrol atau roboh lagi. Fenomena itu menyiratkan pesan sepertinya jembatan itu memang tidak mau dibangun.

Warga setempat seperti makan buah simalakama, dikerjakan salah tidak dikerjakan juga salah. Bila tidak dikerjakan, jembatan lama terlanjur dipugar, jika diteruskan pembangunannya selalu ambrol. Sementara jembatan tersebut merupakan penghubung utama antara Desa Demangan dengan Desa Majasto yang terletak di timur sungai.

Menyikapi hal itu, sebagian warga mengusulkan untuk mencari seorang yang ahli dalam hal metafisika dunia gaib. Mereka mendatangkan seorang paranormal. Setelah sampai di lokasi, paranormal yang dipanggil warga, melakukan deteksi metafisika. Manurut salah seorang penduduk Desa Demangan yang ketika itu mengikuti dan menyaksikan ritual menyebutkan bahwa jembatan tersebut sebenarnya bisa direnovasi dan bisa dibangun. Syaratnya penunggu jembatan tersebut harus dipindahkan dulu. Letak atau tempat penunggu jembatan tersebut persis di bawah jembatan yang hendak dibangun. Tempat tersebut berbentuk bekas pohon Donoloyo yang di zaman silam adalah bekas digunakan untuk membuat jembatan penyeberangan bagi Prabu Brawijaya V dan pengikutnya.

Beberapa waktu lalu sebelum jembatan dibangun, bekas pohon Donoloyo tersebut sering didatangi para pencari pesugihan. Pada malam hari mereka melakukan tirakat kungkum atau berendam diri di tengah sungai dekat pohon Donoloyo tersebut.

Sumber Misteri juga menyebutkan, bila kayu Donoloyo itu dipotong, maka akan bisa mengeluarkan darah. Benar tidaknya tergantung dari sisi mana kita menyikapinya. Yang pasti, karena cerita inilah maka banyak para pencari pesugihan mendatangi lokasi itu.

Setelah paranormal yang enggan disebutkan namanya itu berhasil memindahkan Mbah Entru, maka pembangunan jembatan bisa diteruskan. Namun pembangunan jembatan tersebut sedikit bergeser ke arah selatan dari letak tempat kediaman Mbah Entru.

Sebelum jembatan itu dibangun, telah banyak warga mengalami keganjilan di lokasi yang dimaksud. Berikut ini pengakuan beberapa orang yang pernah mengalami hal-hal gaib di atas jembatan:

Suyanto (57), warga Dukuh Pugeran Karangdowo mengaku sempat merinding. Ketika itu dia baru pulang dari menghadiri hajatan tetangga desa sebelah yakni di Dukuh Majasto. Ketika sampai di atas jembatan itu tiba-tiba motornya mogok. Pada saat itulah ia melihat ke arah bawah jembatan di sebelah utara ada sesosok lelaki yang sedang duduk sambil menghisap rokok. Seketika itu pula bau kemenyan menusuk hidung lelaki yang sehari-hari berprofesi sebagai petani ini.

Lain halnya dengan Parwo (47), warga Gebungan Pedan. Ia juga mengalami hal aneh ketika hendak berkunjung ke Gunung Majasto, tempat Mbah Merbot, salah seorang kenalannya. Di tengah-tengah jembatan tersebut Yamaha miliknya mendadak mogok. Tidak lama kemudian Parwo seperti mendengar ada suara seorang lelaki tua yang memanggilnya, minta tolong agar Parwo turun ke bawah. Suara itu berasal dari bawah jembatan. Sepertinya suara itu menggambarkan empunya suara tercebur sungai. Karena merasa bulu kuduknya merinding, maka lelaki beranak empat tersebut sekencang-kencangnya menuntun motornya berlari dari atas jembatan.

Sesampai di tempat Mbah Merbot Majasto kenalannya, Parwo menceritakan kejadian yang baru dialami itu. Mbah Merbot memberi keterangan pada Parwo, bila suara itu merupakan suara dari Mbah Entru, sang penunggu Jembatan Demangan yang terbentang di atas sungai yang mempunyai lebar 70 meter tersebut. Merbot menambahkan pula bahwa tidak semua orang bisa ditemui oleh Mbah Entru.

Tragedi Pemuja Ilmu Ronggo Pecuk

Rumah besar di pinggir jalan raya itu, semua orang sudah tahu siapa pemiliknya. Orang-orang menyebut pemilik rumah lumayan bagus untuk ukuran desa itu mbah Dirgo. Entah itu sebutan atau nama asli sejak kecil. Yang jelas, mereka tahu bahwa mbah Dirgo adalah dukun kondang, yang pasiennya datang silih berganti, kebanyakan dari luar kota. Ada yang dari Blitar, Malang, Surabaya, Probolinggo, Trenggalek bahkan yang dari Jakarta dan luar Jawa ada juga yang datang minta bantuan mbah Dirgo.

Kemarin ada orang bertamu ke rumah mbah Dirgo. Dua orang, satu pria dan satunya lagi wanita. Mengendarai mobil merk terkenal dan keluaran tahun paling anyar. Pada salah seorang tetangga mbah Dirgo, keduanya mengaku berasal dari Semarang, Jawa Tengah.

“Benar ini kediaman mbah Dirgo?” Tanya tamu tadi kepada Lukman, tetangga dekat mbah Dirgo.

“Mbah Dirgo dukun serba bisa itu kan?” Lukman balik bertanya, ingin kepastian.

“Betul.”

“Kalau itu yang sampeyan cari, rumah mbah Dirgo memang ini,” Lukman menandaskan. Lelaki dua orang anak yang sehari-harinya pedagang buah di pasar Kalitalun itu lantas mempersilahkan tamunya masuk, karena Lukman telah membantu mengetukkan pintu rumah mbah Dirgo.

“Terima kasih, pak,” ujar si tamu sambil memarkirkan mobilnya di halaman Barat rumah bercat serba kemerahan itu.

Seperti biasanya, mbah Dirgo tak terlalu lama melayani tamu dari Semarang tersebut. Ada banyak orang yang antri untuk ditangani oleh mbah Dirgo. Otomatis masing-masing tamu tak terpuji bila terlalu lama berada dalam kamar praktik mbah Dirgo yang konon sangat menyeramkan.

Menurut desas-desus yang merebak beberapa hari sesudahnya, tamu dari ibukota Jawa Tengah tempo hari itu minta jasa baik mbah Dirgo untuk melenyapkan saingan bisnisnya. Tangan mbah Dirgo yang terlalu gampang untuk membunuh dengan bantuan gaib ilmunya tersebut memang tempat sangat idel untuk keperluan itu. Buktinya, lawan bisnis Karsono, orang Semarang tadi, meninggal dunia dengan cara mengenaskan. Dulaman, musuh usaha Karsono, tertimpa batu sebesar kerbau manakala Dulaman sedang mengawasi kerja anak buahnya di sebuah pabrik pemecahan batu tak jauh dari rumahnya.

Sudah puluhan tahun mbah Dirgo memang terkenal sebagai dukun tenung. Profesi yang digelutinya secara turun temurun, paling tidak, almarhum mbah Dakip, orang tuanya dulu juga kondang sebagai dukun tenung.

Nasib baik masih selalu berada di belakang keluarganya, sebab setiap ada pihak yang mau menghabisi mbah Dirgo, dengan berbagai cara, tak ada yang pernah berhasil. Termasuk saat ramai-ramainya penculikan dukun tenung beberapa tahun silam, mbah Dirgo bisa selamat. Ilmu yang dimilikinya memang cukup ampuh dalam membentengi dirinya dari serangan orang yang tidak menyukai sepak terjangnya. Tak aneh bila lelaki berambut gondrong mirip mbah Surip itu semakin merasa tak tertandingi. Enath sudah berapa orang yang mati secara gaib lewat tangannya, hanya dirinya dan Allah saja yang mengetahui jumlah pastinya.

Sebagai seorang dukun senior, materi yang dikumpulkan dari uang kasih para pasiennya lumayan banyak. Rumahnya bagus, sawah, ladang ada di berbagai tempat. Di dalam daerah tempat tinggalnya mau pun di luar daerah. Jumlahnya bisa puluhan hektar plus tabungan di bank yang cukup menggiurkan jika ditunjukkan kepada orang lain.

Pekerjaan mbah Dirgo yang lain adalah tukang servis dan pendongkrak daya tarik bagi wanita-wanita nakal. Bila seorang wanita yang terjun di dunia kelam telah kurang diminati tamu langganan dan dia datang ke tempat praktek mbah Dirgo, dijamin beberapa hari kemudian wanita tadi pasti kebanjiran order. Tubuh wanita itu yang sebelumnya kusam dan tak mendatangkan selera, bisa kelihatan bahenol, sintal, cantik dan sangat mengundang birahi. Langganannya kembali datang, uang mengalir lagi. Aliran duit tersebut sebagian tentu mengarah ke rumah mbah Dirgo sebagai balas budi. Balas budi yang klimaksnya membikin kekayaan lelaki dengan dua orang isteri dan tiga orang anak tadi makin menggunung.

Untuk membuat makin tajam dan cespleng ilmunya, mbah Dirgo harus mengadakan ritual dan persembahan kepada gaib pembantunya. Diantara ritual tadi adalah meminum darah binatang, utamanya ayam berbulu hitam, berkulit legam. Orang sering menyebutnya dengan ayam cemani. Darah ayam model inilah yang pada saat-saat tertentu harus diminum olehnya. Semakin tak lalai melakukan ritual semakin ampuh dan berjaya ilmunya. Ini diyakini betul oleh mbah Dirgo selama ini.

Manusia, bagaimana juga, ada kalanya di atas, ada saatnya di bawah. Keinginan dan harapan bisa melaju terus tanpa batas, namun umur tidak akan bisa dibendung. Dari muda menjadi tua, tidak bisa dihindari. Demikian juga yang dialami mbah Dirgo. Tanpa disadari, dia sudah makin tak lincah gerak tangan, hentakan kaki dan desah nafasnya pun sudah tak berirama sempurna lagi.

“Bila aku berjalan agak jauh, rasanya seperti mau berhenti nafas ini,” keluh mbah Dirgo suatu ketika pada seorang isterinya.

“Wajar. Usia bapak kan sudah lebih tujuh puluh tahun,” sahut si isteri yang bernama Wakini itu.

“Aku berencana untuk tidak memforsir diri lagi dalam bekerja,” ujarnya dengan wajah kusut masai.

“Lalu, ilmu bapak mau dikemanakan?” Tanya Wakini sambil duduk berjajar dengan suaminya, di bawah rindangnya pohon trembesi tak jauh dari rumahnya.

“Aku telah berusaha untuk sedikit demi sedikit membuang pengaruh ilmu itu dengan mantera-mantera yang telah kuhafal.”

“Hasilnya bagaimana, pak?”

“Karena aku mempunyai banyak ilmu, perlu waktu lama untuk membuangnya satu persatu.”

“Tidak ada yang diwariskan pak?”

“Anak-anak kita tak ada yang berminat,” kata mbah Dirgo setengah mengeluh.

“Kepada orang lain, bagaimana pak?”

“Hingga saat ini belum pernah kulihat orang datang kemari untuk keperluan itu.”

“Lalu?”

“Ya. Sudah resiko kita, Wakini.” Mbah Dirgo memandang ke alam lepas. Alam yang di atas sana bergulung-gulung awan kelabu, bahkan berubah menghitam, pertanda hujan akan segera mengguyur mayapada.

Beberapa hari kemudian, mbah Dirgo jatuh sakit. Awalnya hanya pusing-pusing biasa. Realitanya rasa pusing ini semakin parah dan berganti dengan munculnya bintik-bintik merah hampir di sekujur tubuhnya. Berbagai macam cara ditempuh untuk menghalau penyakit aneh ini. Obat modern, jamu-jamu herbal dan banyak usaha lain yang ditempuh, belum juga mampu mendatangkan hasil memuaskan. Bahkan keadaan dirinya makin parah dengan tekanan darahnya yang terus melonjak tinggi.

Orang-orang yang sebelumnya berusaha membantu dengan caranya masing-masing, mulai menjauh. Mereka sudah angkat tangan. Tanpa ingin mendahului kehendak Yang Maha Kuasa, dalam hati kecil mereka sudah tertanam keyakinan bahwa mbah Dirgo tinggal menghitung hari saja sebagai penghuni bumi ini.

“Kasihan dia,” bisik seseorang yang sempat berkunjung ke rumah mbah Dirgo.

“Sejak beberapa bulan sebelumnya, kabarnya mbah Dirgo lupa mengadakan ritual minum darah ayam. Benar demikian, kang?”

“Aku kurang tahu masalah itu, Dik. Itu urusan mbah Dirgo dan keluarganya. Kita sebaiknya hanya ikut berdoa, kalau pun tidak sembuh, mudah-mudahan ada jalan lapang saja bagi perjalanan hidup mbah Dirgo selanjutnya.”

“Ya, kang. Tak baik terlalu jauh menggunjingkan kekurangan orang lain.”

“Ya.”

Saat dua orang ini hendak beranjak pulang, karena sudah lama keduanya di dalam ruangan tempat mbah Dirgo berbaring, terdengar ada rintihan keluar dari mulut dukun itu.

“Uhhhh!” Hanya itu. Kemudian, “Potongkan aku ayam dan ambil darahnya,” ujar mbah Dirgo memelas.

Seorang anaknya yang sedang menunggu di situ segera menuruti kehendak bapaknya. Seekor ayam cemani yang mungkin sudah lama dipersiapkan langsung disembelih dan darah segarnya diberikan kepada bapaknya. Mbah Dirgo segera meneguk darah yang diwadahi cangkir kecil berwarna merah muda.

Baru saja beberapa tetes darah masuk rongga mulut, mbah Dirgo menyemprotkan kembali darah itu keluar. Darah memuncrat, berhamburan ke segala arah, hingga membasahi baju dan wajah beberapa orang yang sedang membesuknya.

Sebelum orang-orang tahu apa yang musti dilakukannya, mbah Dirgo berteriak lantang dan heweeerrrrrr. Crot. Darah kental keluar dari rongga tenggorokannya. Tubuh dukun itu berputar-putar seperti ayam baru dipotong. Sebentar membujur ke arah Utara, sebentar berbalik ke Selatan. Saking menderitanya, tubuh itu seakan terlonjak-lonjak ke atas, setengah berputar dan breg, terjerembab ke dipan kayu berukir di bawahnya.

Darah kental terus termuntahkan seakan tanpa henti. Semprotan darah ada di mana-mana. Di ranjang, selimut, sekujur tubuh mbah Dirgo dan lantai di bawahnya. Ada berliter-liter darah, mungkin, sudah terkuras dari tubuh mbah Dirgo. Tak perlu hitungan tiga detik selanjutnya, tubuh itu telah memutih kehabisan darah. Mereka yang duduk di kanan kiri ranjang hanya melonggo keheranan. Mbah Dirgo telah tiada. Dia meninggal dalam kondisi yang tersiksa dan sangat mengenaskan.